
Sidoarjo dulu dikenal sebagai pusat Kerajaan Janggala. Pada
masa kolonialisme Hindia Belanda, daerah Sidoarjo bernama Sidokare, yang
merupakan bagian dari Kabupaten Surabaya. Daerah Sidokare dipimpin oleh
seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung
Pucang Anom yang dibantu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang
berdiam di kampung Pangabahan. Pada 1859, berdasarkan Keputusan
Pemerintah Hindia Belanda No. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad
No. 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu
Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokari. Sidokare dipimpin R. Notopuro
(kemudian bergelar R.T.P Tjokronegoro) yang berasal dari Kasepuhan. Ia
adalah putra dari R.A.P. Tjokronegoro, Bupati Surabaya. Pada tanggal 28
Mei1859, nama Kabupaten Sidokare, yang memiliki konotasi kurang bagus
diubah menjadi Kabupaten Sidoarjo.
Setelah R. Notopuro wafat tahun 1862, maka kakak almarhum 1863 diangkat sebagai bupati, yaitu Bupati
R.T.A.A Tjokronegoro II yang merupakan pindahan dari Lamongan. Pada
tahun 1883 Bupati Tjokronegoro mendapat pensiun, sebagai gantinya
diangkat R.P. Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya 3 bulan
karena wafat pada tahun itu juga, dan R.A.A.T. Tjondronegoro I diangkat
sebagai gantinya.
Di masa Pedudukan Jepang (8 Maret 1942 – 15 Agustus 1945), daerah
deltaSungai Brantas termasuk Sidoarjo juga berada di bawah kekuasaan
Pemerintahan Militer Jepang (yaitu oleh Kaigun, tentara Laut Jepang).
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu. Permulaan
bulan Maret 1946 Belanda mulai aktif dalam usaha-usahanya untuk
menduduki kembali daerah ini. Ketika Belanda menduduki Gedangan,
pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan Sidoarjo ke Porong.
Daerah Dungus (Kecamatan Sukodono) menjadi daerah rebutan dengan
Belanda. Tanggal 24 Desember 1946, Belanda mulai menyerang kota Sidoarjo
dengan serangan dari jurusan Tulangan. Sidoarjo jatuh ke tangan Belanda
hari itu juga. Pusat pemerintahan Sidoarjo lalu dipindahkan lagi ke
daerah Jombang.
Pemerintahan pendudukan Belanda (dikenal dengan nama Recomba)
berusaha membentuk kembali pemerintahan seperti di masa kolonial dulu.
Pada November 1948, dibentuklah Negara Jawa Timur salah satu negara
bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Sidoarjo berada di bawah
pemerintahan Recomba hingga tahun 1949. Tanggal 27 Desember 1949,
sebagai hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan
kembali Negara Jawa Timur kepada Republik Indonesia, sehingga daerah
delta Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia
• Geografi
Wilayah Kabupaten Sidoarjo berada di dataran rendah. Sidoarjo dikenal
dengan sebutan Kota Delta, karena berada di antara dua sungai besar
pecahan Kali Brantas, yakni Kali Mas dan Kali Porong. Kota Sidoarjo
berada di selatan Surabaya, dan secara geografis kedua kota ini
seolah-olah menyatu.
Transportasi
Bandara Internasional Juanda dan terminal bus Purabaya yang dianggap
sebagai “milik” Surabaya, berada di wilayah kabupaten ini. Terminal
Purabaya merupakan gerbang utama Surabaya dari arah selatan, dan salah
satu terminal bus terbesar di Asia Tenggara. Kereta komuter
Surabaya-Sidoarjo-Porong menghubungkan kawasan Sidoarjo dengan Surabaya.
• Pembagian administratif
Kabupaten Sidoarjo terdiri atas 18 kecamatan, yang dibagi lagi atas
sejumlah desa dan kelurahan. Kota kecamatan lain yang cukup besar di
Kabupaten Sidoarjo diantaranya Taman, Krian, Candi, Porong dan Waru.
Perekonomian
Industri dan jasa merupakan sektor perekonomian utama Sidoarjo. Selat
Madura di timur merupakan daerah penghasil perikanan, diantaranya ikan,
udang, dan kepiting. Sidoarjo juga dikenal dengan sebutan “Kota Petis”.
Olahraga
Gelora Delta terdapat di kota Sidoarjo, dimana pernah digunakan untuk
pembukaan PON XV Jawa Timur 2002. Dimana stadion ini adalah markas dari
klub sepakbola Deltras Sidoarjo.
• Provinsi Jawa Timur
Ibu kota Sidoarjo
Luas 591,59 km²
Penduduk
• Jumlah 1.682.000 (2003)
• Kepadatan 2.843 jiwa/km²
Pembagian administratif
• Kecamatan 18
• Desa/kelurahan -
Dasar hukum -
Tanggal -
Bupati Win Hendrarso
Kode area telepon 031
Terkait
Legenda Pada tahun 1019 - 1042 Kerajaan Jawa Timur diperintah oleh
seorang Putera dari hasil perkawinan antara Puteri Mahandradata dengan
Udayana (seorang Pangeran Bali) yang bernama Airlangga, pada waktu
pemerintahan Airlangga, keadaan negara tentram, keamanan terjamin, dan
negara mengalami kemajuan yang pesat. Karena raja Airlangga mempunyai 2
orang putera, maka pada akhir masa pemerintahannya ia memandang perlu
membagi kerajaan menjadi dua bagian untuk diserahkan kepada kedua
putranya, agar dikemudian hari tidak terjadi perebutan tahta. Pembagian
itu terjadi pada tahun 1042, yaitu menjadi kerajaan Daha (Kediri) dan
Kerajaan Jenggala. Kerajaan Jenggala yang berdiri pada tahun 1024
terletak di daerah delta Brantas, yaitu meliputi pesisir utara
seluruhnya, dengan demikian menguasai bandar-bandar dan muara sungai
besar, sedangkan ibukotanya berada di sekitar Kecamatan Gedangan
sekarang. Lain halnya dengan Kerajaan Kediri, tidak memiliki bandar
sebuahpun sehingga walaupun hasil pertanian di Kediri sangat besar dan
upeti mengalir dengan sangat besar, semuanya semua itu tidak dapat
diperdagangkan karena kerajaan kediri tertutup dari laut sebagai jalan
perdagangan pada waktu itu. Maka timbullah perebutan bandar antara
kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala, yang kemudian menimbulkan
peperangan besar antara kedua kerajaan tersebut, dimana keduanya
menuntut kekuasaan atas kerajaan Airlangga.Perang tersebut berakhir
dengan kekalahan kerajaan Jenggala, pada tahun 1045(menurut sumber lain
Kerajaan Jenggala pada tahun 1060 masih ada).
Demikianlah
di daerah Delta Brantas dahulu pada sekitar antara tahun 1042 -
1045/1960 pernah pernah berdiri suata kerajaan yaitu kerajaan Jenggala.
Hal itu dapat dibuktikan bahwa pada waktu Kabupaten Sidoarjo susunan
pemerintahannya dibagi menjadi beberapa kawedanan (distrik), ternyata
nama-nama kawedanan tersebut masih memakai nama-nama yang digunakan pada
masa Kerajaan Jenggala , misalnya: Jenggala I,Jenggala II, Rawapulo I,
Rawapulo II, dan sebagainya. Nama-nama ini hilang pada kira-kira tahun
1902.
RIWAYAT PERKEMBANGAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO
R.A.A Soejadi
Bupati Sidoarjo
periode 1933-1949
R.Suriadi Kertosuprojo
Bupati Sidoarjo
periode 1950-1958
H.A. Chudori Amir
Bupati Sidoarjo
periode 1958-1959
R.H Samadikoen
Bupati Sidoarjo
periode 1959-1964
Kol.Pol. HR. Soedarsono
Bupati Sidoarjo
periode 1965-1975
Kol.Pol. H Soewandi
Bupati Sidoarjo
periode 1975-1985
Kol.Art. Soegondo
Bupati Sidoarjo
periode 1985-1990
Kol.Inf. Edhi Sanyoto
Bupati Sidoarjo
periode 1990-1995
Kol.Inf. H. Soedjito
Bupati Sidoarjo
periode 1995-1999
Drs. Win Hendrarso ,Msi
Bupati Sidoarjo
periode 1999-
Semula, tepatnya pada tahun 1851 daerah Sidoarjo bernama Sidokare,
bagian dari kabupaten Surabaya. Daerah Sidokare dipimpin oleh seorang
patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang
Anom yang dibatu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam
di kampung Pangabahan. Pada tahun 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah
Hindia Belanda no. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6,
daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten
Surabaya dan Kabupaten Sidokare.Dengan demikian Kabupaten Sidokare tidak
lagi menjadi daerah bagian dari Kabupaten Surabaya dan sejak itu mulai
diangkat seorang Bupati utuk memimpin Kabupaten Sidokare yaitu R.
Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) berasal dari Kasepuhan, putera R.A.P
Tjokronegoro Bupati Surabaya, dan bertempat tinggal di kampung Pandean
(sebelah selatan Pasar Lama sekarang), beliau medirikan masjid di
Pekauman (Masjid Abror sekarang),sedang alun-alunya pada waktu itu
adalah Pasar Lama. Dalam tahun 1859 itu juga, dengan berdasarkan Surat
Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 10/1859 tanggal 28 Mei 1859
Staatsblad. 1859 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten
Sidoarjo. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa secara resmi
terbentuknya Daerah Kabupaten Sidoarjo adalah tangal 28 Mei 1859 dan
sebagai Bupati I adalah R.Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) Semula rumah
Kabupaten di daerah kampung Pandean, kemudian karena suatu hal maka
Bupati Tjokronegoro I dipindahkan ke Kampung Pucang (Wates). Disini
beliau membangun masjid Jamik yang sekarang ini (Masjid Agung), tetapi
masih dalam bentuk yang sangat sederhana, sedang di sebelah Baratnya
dijadikan Pesarean Pendem (Asri). Pada tahun 1862, beliau wafat setelah
menderita sakit, dan dimakamkan di Pesarean Pendem (Asri). Sebagai
gantinya pada tahun 1863 diangkat kakak alnarhum sebagai Bupati
Sidoarjo, yaitu Bupati R.T.A.A Tjokronegoro II (Kanjeng Djimat
Djokomono), pindahan dari Lamongan. Pada masa pemerintahan Bupati
Tjokronegoro II ini pembangunan - pembangunan mendapat perhatian sangat
besar antara lain, meneruskan pembangunan Masjid Jamik yang masih sangat
sederhana, perbaikan terhadap Pesarean Pendem, disamping itu dibangun
pula Kampung Magersari sebelah Barat Kabupaten, yang kemudian
ditempatkan disitu orang-orang Madura. Pada tahun 1883 Bupati
Tjokronegoro mendapat pensiun, yang tak lama kemudian pada tahun sama
beliau wafat, dimakamkan di Pesarean Botoputih Surabaya. Sebagai
gantinya diangkat R.P Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya
berjalan 3 bulan karena wafat pada tahun itu juga dan dimakamkan di
Pesarean Pendem. Selanjutnya dalam tahun1883 itu diangkat R.A.A.T.
Tjondronegoro I ini dapatlah dicatat sebagai berikut :
* Dalam Bidang Pembangunan
o Penyempurnaan Masjid Jamik yang telah dibangun oleh para
Bupati terdahulu yaitu diperluas dan diperindah dengan pemasangan
marmer. Pembangunan ini dimulai hari Jum'at Kliwon tanggal 26 Muharrom
1313 H, bertepatan dengan tahun Wawu 1825 dan tanggal 19 Juli 1895. Bagi
Pesarean para Bupati serta keluarganya, para penghulu dan segenap ahlul
masjid ditetapkan di pekarangan Masjid Jamik (seperti yang kita
saksikan sekarang)
* Dalam Bidang pemerintahan
o Susunan Pemerintahan (Hierarchie) pada waktu itu di Kabupaten Sidoarjo dibagi menjadi 6 Kawedanan (Distrik) yaitu :
1. Kawedanan Gedangan
2. Kawedanan Sidoarjo
3. Kawedanan Krian
4. Kawedanan Taman Jenggolo
5. Kawedanan Porong Jenggolo
6. Kawedanan Bulang
Nama-nama Kawedanan tersebut ternyata masih memakai nama-nama pada waktu Kerajaan Jenggal dahulu.
Masa Pedudukan Jepang ( 8 Maret 1942 - 15 Agustus 1945 ) Sebagaimana
juga daerah-daerah di Indonesia, mulai tanggal 8 Maret 1942 daerah Delta
Brantas ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang. Pada waktu
pendudukan Jepang itu, yang menjadi Bupati Sidoarjo adalah tetap Bupati
R.A.A. Sujadi. Pemerintahan jepang sangat militeristik sehingga tidak
sedikit para pemimpin dan Pamong Praja yang dianggap merintangi
Pemerintahan Jepang menjadi korban Kempetai. Dimana-mana dibentuk
Seinendan dan Keibondan dan (sebagai pembantu Polisi ), hingga ke
desa-desa terpencil.
Pemerintahan Republik Indonesia.
Sebagaimana tercatat pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada
Sekutu, pada waktu itu adalah waktu yang sebaik-baiknya bagi Bangsa
Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, dimana-mana di
daerah Republik Indonesia dibentuk bermacam-macam badan atau
perkumpulan yang bersifat nasional. Pada waktu itu yang berkuasa di
daerah Delta Brantas ialah Kaigun ( tentara Laut Jepang ) yang dengan
rela menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita. Badan-badan
bersenjata mulai dibentuk dengan nama B.K.R dan P.T.K.R. Diantara
badan-badan bersenjata tersebut yang paling berkuasa didaerah kita pada
waktu itu ialah P.T.K.R. dibawah pimpinan Mayor Sabarudin.
Pembunuhan-pembunuhan dijalankan terhadap mereka yang dicurigai sebagai
mata-mata musuh. Karena tindakannya yang melampui batas maka oleh pihak
pimpinan yang tertingggi dianggap perlu untuk melucuti senjata P.T.K.R.
yang ada dibawah pimpinan Sabarudin tersebut. Akhirnya kekuasaan
Sabarudin dkk. dapat dilumpuhkan.
Permulaan bulan Maret
Belanda mulai aktif dengan usaha-usahanya untuk menduduki kembali daerah
kita. Waktu Belanda menduduki Gedangan, Pemerintah memandang perlu
memindahkan pusat Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo ke Porong. Tetapi
masih ada pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk tetap tinggal di kota
Sidoarjo sebagai wakil dari Pemerintahan. Kemudian di Candi di bentuk
Markas Gabungan sebagai pertahanan. Pada waktu itu derah Dungus
(Kecamatan Sukodono) menjadi daerah rebutan dengan Belanda. Tanggal 24
Desember 1946, Belanda mulai menyerang kota Sidoarjo dengan serangan
dijalankan dari jurusan Tulangan. Maka pada hari itu juga Daerah
Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo
dipindahkan lagi ke daerah Jombang. Dan mulai saat itu Daerah Sidoarjo
dibawah pemerintahan Recomba yang berjalan hingga tahun 1949.
Sesudah
negara Jawa Timur dibentuk, daerah Brantas masuk daerah Boneka
tersebut. Pada waktu itu Bupati R.I adalah : K. Ng. Soebekti Poespanoto.
R. Soeharto. Tanggal 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kembali
kepada Pemerintahan Republik Indonesia, maka waktu itu juga Daerah Delta
Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia.
Tidak lama sesudah penyerahan kembali Kedaulatan kepada Pemerintah
Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 22/1948, R. Soeriadi
Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di Kabupaten
Sidoarjo. Banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Pemerintahan
Kabupaten Sidoarjo yang baru. Lebih-lebih karena Daerah Delta Brantas
merupakan daerah penghubung antara kota Surabaya dengan daerah
pedalamanan. Seperti kita ketahui kota Surabaya adalah termasuk kota
yang terbesar di Asia Tengara, sehingga tidak luput dari intaian
negara-negara asing yang ingin menyebarkan ideologinya didaerah
Indonesia. Karena itu daerah Sidoarjo juga menghadapi segala macam
infiltrasi, terutama dari pihak yang tidak menyukai adanya Republik
Indonesia.
Kekacuauan- kekacuauan mulai timbul lagi di
daerah-daerah. Kekacuauan- kekacuauan itu terutama disebabkan dari
usaha-usaha pengikut Belanda yang tidak mau tunduk dibawah Pemerintahan
Republik Indonesia. Diantara pengacau-pengacau itu ialah pengacau yang
dipimpin oleh bekas Lurah desa Tromposari (Kecamatan Jabon) yaitu Imam
Sidjono alias Malik. Didalam menjalankan kekacauan itu, Malik berusaha
supaya lurah-lurah lainnya membantu dia. Tidak sedikit Pamong Desa dan
Lurah lainnya yang menjadi alat Malik. Senjata yang mereka gunakan
ternyata bekas kepunyaan KNIL. Daerah kekuasaannya ialah daerah segitiga
: Gempol - Bangil - Pandaan, dan daerah Kabupaten seluruhnya masuk
daerah operasinya. Berkat adanya kerja sama Pamong Praja, Polisi dan
Tentara, maka kira-kira dalam pertengahan bulan Mei 1951, kekacauan
mulai dapat diredakan, Malik tertangkap di daerah Bangil pada tanggal 12
Mei 1951. Operasi-operasi dimana-mana dijalankan terus, dan baru
pada permulaan Agustus 1951 keadaaan di daerah Delta Brantas dapat
dikatakan aman dan terkendali. Pemerintahan lambat laun berjalan lancar
kembali sampai ke pelosok-pelosok desa. Akhirnya sebagai kelengkapan
dari cuplikan baru sejarah Kabupaten Sidoarjo dan untuk diketahui oleh
masyarakat, maka perlu kami kutipkan nama-nama para Bupati Sidoarjo
sejak pertama hingga sekarang .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar